Friday, December 21, 2012

Peluang Usaha Budidaya Ikan Betutu


Budidaya ikan betutu (bakut) atau biasa juga disebut ikan malas belum terlalu memasyarakat seperti ikan lele ataupun ikan  mas karena  jarang  muncul sebagai komoditas yang diperjualbelikan  di  pasar tradisional. Tetapi  di sisi lain pangsa pasar ikan betutu cukup bergengsi karena dipasok ke restoran-restoran kota besar bahkan menjadi komoditi ekspor dengan harga cukup tinggi. 

Tingginya harga ikan  betutu disebabkan cita rasanya yang lezat, serta dagingnya yang putih dan empuk. Ikan  betutu juga dipercaya mengandung khasiat tertentu bagi pria dan wanita. Bagi kaum wanita, ikan  betutu dipercaya dapat membuat awet muda. Sedangkan bagi kaum pria, ikan  betutu diyakini dapat meningkatkan vitalitas.

Walaupun harga jual ikan betutu cukup tinggi (Rp100.000,00-Rp150.000,00/kg), namun resiko yang dihadapi juga tidak kalah besar. Selain proses pembesaran yang berlangsung lama, tingkat kematian ikan ini cukup tinggi. Apalagi dalam hal penyediaan benih ikan, pembudidaya
hanya mengandalkan benih hasil tangkapan dari alam. Ikan betutu  juga  masih sulit dibiasakan memakan pakan buatan pabrik (pellet), sehingga harus selalu tersedia pakan segar berupa ikan rucah yang juga ditangkap dari alam.  Dalam jangka panjang ketergantungan benih dan pakan alam akan menjadi kendala terhadap kontinuitas usaha budidaya ikan betutu.

Suatu usaha pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan biaya yang minimum. Analisis ekonomi termasuk analisis  finansial usaha pembesaran ikan betutu dalam karamba yang dilaksanakan oleh pembudidaya  perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha dan prospek pengembangannya di masa mendatang. Namun suatu usaha  belum  dapat dikatakan berhasil  jika hanya melihat dari besarnya keuntungan  yang diperoleh, karena kelancaran distribusi  dan pemasaran yang efisien hingga sampai ke tangan konsumen 
akhir juga cukup penting untuk diperhatikan. 

Analisis Ekonomi Usaha Budidaya Ikan Betutu 
Dalam usaha budidaya ikan betutu dalam karamba perlu diperhitungkan tentang biaya produksi yang dikeluarkan.  Biaya produksi tersebut meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. 

Biaya tetap merupakan biaya yang tidak habis dipakai dalam satu kali proses peroduksi, jumlahnya konstan dan tidak berpengaruh secara langsung  dengan besaran produksi yang ingin dicapai.  Biaya tetap meliputi biaya penyusutan dan pemeliharaan karamba dan sejumlah peralatan yang digunakan (misalnya jaring, ember, ancau, serok, dan lain-lain). Adapun biaya 
tidak tetap adalah biaya yang habis dipakai dalam satu kali proses dan berpengaruh langsung dengan besaran produksi yang dicapai. 

Biaya tidak tetap meliputi biaya pembelian benih, konsumsi saat panen, tenaga kerja, bahan bakar dan sebagainya. Penerimaan  merupakan keuntungan kotor yang bersumber dari penjualan hasil produksi sesuai dengan harga jualnya.   

Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya
a. Sulit mendapatkan benih secara kontinu karena selama ini benih yang digunakan berasal dari  hasil tangkapan di alam. Apalagi benih ikan betutu sangat kecil dibandingkan benih ikan air tawar lainnya yang menyebabkan daya hidupnya cukup rendah. Belum lagi munculnya hewan-hewan pemangsa ataupun kebiasaan buruk kanibalisme yang  semakin memperlemah laju perkembangbiakan yang lamban tersebut. 

b. Ikan betutu yang dipelihara  sering kali terkena penyakit. Gejala yang ditunjukan  berupa luka borok yang muncul pada bagian tubuh dan sirip, gaya berenang yang tidak stabil, sering mengapung di permukaan dan tubuh terasa kasar. Minimnya pengetahuan para pembudidaya ikan Betutu dalam mengatasi penyakit terlihat dari kurangnya upaya mereka mengobati ikan yang sakit. Ikan betutu yang terkena penyakit dibuang begitu  saja ke daratan di sekitar lokasi pembesaran, hal ini dilakukan agar penyakit tersebut tidak menular pada ikan Betutu lainnya yang ada dalam karamba.

c. Pembudidaya berada dalam posisi tawar yang lemah, karena kurang berperan dalam penentuan harga dan penjualan hasil produksi. Jika hasil produksi sedikit, terkadang  pedagang besar tidak datang untuk membeli. Hal ini dilakukan pedagang besar karena biaya yang digunakan untuk menjangkau lokasi produsen cukup besar dan tidak sebanding dengan penerimaan yang diperoleh. Akibatnya pembudidaya terpaksa memperlambat panennya yang 
beresiko terhadap peningkatan biaya produksi.