Budidaya ikan betutu (bakut) atau biasa juga disebut ikan malas belum terlalu memasyarakat seperti ikan lele ataupun ikan mas karena jarang muncul sebagai komoditas yang diperjualbelikan di pasar tradisional. Tetapi di sisi lain pangsa pasar ikan betutu cukup bergengsi karena dipasok ke restoran-restoran kota besar bahkan menjadi komoditi ekspor dengan harga cukup tinggi.
Tingginya harga ikan betutu disebabkan cita rasanya yang lezat, serta dagingnya yang putih dan empuk. Ikan betutu juga dipercaya mengandung khasiat tertentu bagi pria dan wanita. Bagi kaum wanita, ikan betutu dipercaya dapat membuat awet muda. Sedangkan bagi kaum pria, ikan betutu diyakini dapat meningkatkan vitalitas.
Walaupun harga jual ikan betutu cukup tinggi (Rp100.000,00-Rp150.000,00/kg), namun resiko yang dihadapi juga tidak kalah besar. Selain proses pembesaran yang berlangsung lama, tingkat kematian ikan ini cukup tinggi. Apalagi dalam hal penyediaan benih ikan, pembudidaya
hanya mengandalkan benih hasil tangkapan dari alam. Ikan betutu juga masih sulit dibiasakan memakan pakan buatan pabrik (pellet), sehingga harus selalu tersedia pakan segar berupa ikan rucah yang juga ditangkap dari alam. Dalam jangka panjang ketergantungan benih dan pakan alam akan menjadi kendala terhadap kontinuitas usaha budidaya ikan betutu.
Suatu usaha pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan biaya yang minimum. Analisis ekonomi termasuk analisis finansial usaha pembesaran ikan betutu dalam karamba yang dilaksanakan oleh pembudidaya perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha dan prospek pengembangannya di masa mendatang. Namun suatu usaha belum dapat dikatakan berhasil jika hanya melihat dari besarnya keuntungan yang diperoleh, karena kelancaran distribusi dan pemasaran yang efisien hingga sampai ke tangan konsumen
akhir juga cukup penting untuk diperhatikan.
Analisis Ekonomi Usaha Budidaya Ikan Betutu
Dalam usaha budidaya ikan betutu dalam karamba perlu diperhitungkan tentang biaya produksi yang dikeluarkan. Biaya produksi tersebut meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap.
Biaya tetap merupakan biaya yang tidak habis dipakai dalam satu kali proses peroduksi, jumlahnya konstan dan tidak berpengaruh secara langsung dengan besaran produksi yang ingin dicapai. Biaya tetap meliputi biaya penyusutan dan pemeliharaan karamba dan sejumlah peralatan yang digunakan (misalnya jaring, ember, ancau, serok, dan lain-lain). Adapun biaya
tidak tetap adalah biaya yang habis dipakai dalam satu kali proses dan berpengaruh langsung dengan besaran produksi yang dicapai.
Biaya tidak tetap meliputi biaya pembelian benih, konsumsi saat panen, tenaga kerja, bahan bakar dan sebagainya. Penerimaan merupakan keuntungan kotor yang bersumber dari penjualan hasil produksi sesuai dengan harga jualnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya
a. Sulit mendapatkan benih secara kontinu karena selama ini benih yang digunakan berasal dari hasil tangkapan di alam. Apalagi benih ikan betutu sangat kecil dibandingkan benih ikan air tawar lainnya yang menyebabkan daya hidupnya cukup rendah. Belum lagi munculnya hewan-hewan pemangsa ataupun kebiasaan buruk kanibalisme yang semakin memperlemah laju perkembangbiakan yang lamban tersebut.
b. Ikan betutu yang dipelihara sering kali terkena penyakit. Gejala yang ditunjukan berupa luka borok yang muncul pada bagian tubuh dan sirip, gaya berenang yang tidak stabil, sering mengapung di permukaan dan tubuh terasa kasar. Minimnya pengetahuan para pembudidaya ikan Betutu dalam mengatasi penyakit terlihat dari kurangnya upaya mereka mengobati ikan yang sakit. Ikan betutu yang terkena penyakit dibuang begitu saja ke daratan di sekitar lokasi pembesaran, hal ini dilakukan agar penyakit tersebut tidak menular pada ikan Betutu lainnya yang ada dalam karamba.
c. Pembudidaya berada dalam posisi tawar yang lemah, karena kurang berperan dalam penentuan harga dan penjualan hasil produksi. Jika hasil produksi sedikit, terkadang pedagang besar tidak datang untuk membeli. Hal ini dilakukan pedagang besar karena biaya yang digunakan untuk menjangkau lokasi produsen cukup besar dan tidak sebanding dengan penerimaan yang diperoleh. Akibatnya pembudidaya terpaksa memperlambat panennya yang
beresiko terhadap peningkatan biaya produksi.