Saturday, October 6, 2012

Budidaya Sidat Janjikan Omzet Menggiurkan


KKP News || Budidaya sidat kini menjadi salah satu usaha yang menjanjikan dan beromzet tinggi. Komoditas sidat hingga kini masih terbatas dikarenakan belum ada teknologi untuk pemijahan, sehingga harga di pasaran terbilang cukup tinggi. Keberadaan makhluk licin berlendir itu sangat diminati pasar dunia. Terutama konsumen oriental, seperti Jepang, Hongkong, Korea Selatan, China, dan Taiwan. Permintaan sidat di pasar internasional mencapai 300 ribu ton per tahun. Dari total kebutuhan tersebut, permintaan Jepang terhadap jenis unagi kabayaki 150 ribu ton per tahun. Bahkan, menurut Dirjen Perikanan Budidaya, Slamet Subiakto, permintaan di dalam negeri begitu besar yakni sebanyak 3 ton per bulan hanya untuk daerah Jakarta saja, belum daerah lainnya.

Naiknya permintaan komoditi sidat diiringi tumbuhnya restoran Jepang di Jakarta dan daerah-daerah lain. “itu pun masih kekurangan pasokan bahan baku sidat,” sambungnya. Dikatakannya, saat ini harga sidat dapat mencapai Rp300 ribu hingga Rp 600ribu/kg. Oleh karena itu menurutnya, ini merupakan tugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengembangkan dan mendorong masyarakat agar mau membudidayakan sidat ini, karena sidat memiliki nilai tambah yang tinggi.

“Potensi sidat di Indonesia luar biasa besarnya, karena Indonesia merupakan negara penghasil sidat terbesar di dunia, karena hampir setiap muara di perairan indonesia terdapat sidat,” kata Slamet dalam acara kunjungan kerja ke PT Jawa Suisan Indah di Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat, kemarin sore (21/4)

Saat ini, selain Indonesia yang mengeskpor sidat, negara-negara seperti Eropa, China, Amerika turut mengekspor sidat. Sejauh ini Indonesia belum memiliki teknologi untuk pembenihan sidat, masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam.” Bahkan di belahan dunia manapun belum ada teknologi pemijahan bagi sidat ini,” ungkap Slamet.

Oleh sebab itu, Slamet mengimbau kepada masyarakat dalam menjaga kelestarian sidat agar jangan menangkap sidat diatas 500gr. Selain itu, pemerintah daerah setempat harus membuat peraturan bahwa orang menangkap dari alam harus dibudidayakan tidak boleh langsung dijual. “Tapi untuk sidat yang berukuran diatas 30 cm itu baru boleh dijual,” ungkapnya.

Terkait ekspor benih ilegal, Slamet menegaskan tidak boleh ekspor sidat jenis elver dan glass eel karena sudah ada Peraturan Menteri yang mengatur pelarangan ekspor benih sidat. Slamet merespons hal tersebut dengan menerjunkan tim untuk mengevaluasi dan mengawasi ke lapangan mengenai kebenaran ekspor benih sidat ilegal.

Ia merinci, ekspor yang dilarang adalah benih-benih sidat yang berukuran panjang 30 dan diameternya minimal 2,5 cm serta beratnya sekitar 100gr. Untuk itulah, pihaknya akan bersinergi dengan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) dalam mengawasi peredaran penjualan sidat ilegal. Slamet mengakui masih terkendala dalam penyediaan pakan untuk sidat. “Budidaya Sidat merupakan hal yang baru, nah  tantangan bagi kita untuk membuat formulasi pakan sidat,” katanya.

Hal senada dikatakan oleh pemilik PT Jawa Suisan Indah, Ishitani bahwa pakan untuk sidat masih menjadi kendala. Menurutnya pakan khusus sidat masih belum ada yang sesuai  di Indonesia. Oleh sebab itu, pabrik ini menyiasatinya dengan memakai pakan udang untuk pakan sidat. Selain itu, ia mengatakan saat ini pabriknya masih kekurangan bahan baku untuk pabrik pengolahannya. “Kapasitas pabrik sekitar 2000 ton, hanya produksi pabrik ini belum optimal baru mencapai 300 ton/tahun,” jelasnya.

Oleh karena itu, dia berharap agar ditambahnya pasokan sidat sehingga dapat memenuhi permintaan pasar. Untuk menyiasati kekurangan pasokan, Ishitani memberdayakan pembudidaya dengan membeli hasil tangkapan sidat dari masyarakat. “Biasanya, kami membeli dari masyarakat minimal ukurannya sekitar 5gr.

Perlu Sosialisasi
Hal senada dikemukakan oleh syamsudin bahwa budidaya sidat masih terkendala mengenai teknologi pemijahan dan pakan. Sampai saat ini belum ada teknologi pemijahan sidat, hasil tangkapan masih bergantung pada alam.

Ia mengemukakan di Indonesia, sentra sidat terdapat di Parigi Moutong, Manado, NTT, Aceh, Bengkulu. Menurutnya, hasil tangkapan dari alam masih terbilang cukup banyak, tentunya harus kita kendalikan. “Sangat disayangkan, pada umumnya masyarakat belum tahu bahwa sidat memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga banyak yang dijual murah,” sambungnya

Ia mencontohkan, ketika ke labuan Bajo, disana sidat dijual sangat murah, untuk ukuran 1-2 meter yang sudah dikeringkan dan diasinkan dijual dengan harga Rp2 ribu/kg. Untuk itu, lanjutnya kita perlu mensosialisasikan bahwa ikan sidat ini memiliki harga jual yang tinggi, “Ini merupakan peluang kita dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui sosialisasi budidaya sidat ini,” sambungnya.

Oleh karena itu, ia mengharapkan dukungan pemerintah dalam mensosialisasikan serta mengendalikan perdagangan sidat melalui peraturan-peraturan dan ketentuan yang jelas. Dikatakannya, banyak orang ketika dapat langsung dkirim dan dieskpor secara ilegal, karena pengawasan belum diperketat. Umumnya mereka lihai dalam meloloskan sidat ini melalui berbagai cara dan metode sehingga Badan Karantina ikan kecolongan.

Lebih jauh ia mengungkapkan, bantuan PUMP perikanan budidaya dapat digunakan sebagai modal untuk membudidayakan sidat, jadi bukan hanya komoditi ikan nila dan lele saja yang dapat. Sejauh  ini pembudidaya sidat di perigi moutong telah mendapat bantuan program PUMP PB/ kelompok Rp65 juta. “Kami sebagai Asosiasi sekaligus pebisnis siap membeli berapa pun hasil tangkapan sidat dari masyarakat. Nah, hasil tersebut kita jual kepada PT Ishitani yang kekurangan dalam pasokan bahan baku,” katanya.

“Peluang ini  harus kita manfaatkan. Untuk itu kita akan mensinergikan pengusaha-pengusaha skala menengah dan UPT”, pungkasnya. Perlu diketahui, sidat juga banyak keunggulan, diantaranya terdapat kandungan vitamin A, kandungan EPA rata-rata lebih tinggi DHA ikan sidat 1.337 mg/100 gram mengalahkan ikan salmon yang hanya tercatat 820 mg/100 gram atautenggiri 748 mg/100 gram.

Ikan sidat memiliki bentuk yang menyerupai belut. Secara fisik belut memiliki bentuk kepala lancip dan bulat, sedangkan ikan sidat ini mempunyai bentuk kepala segitiga, badan berbintik-bintik, dan ekor yang mirip ekor lele. Sidat juga bukan belut berkuping. Karena, yang selama ini dianggap telinga, sebenarnya adalah sirip. Dilihat dari ukurannya, panjang tubuh belut akan mentok di kisaran 60 cm. Sedangkan panjang sidat berkisar 80 cm-125 cm. Bobot terberat binatang ini juga bisa menyentuh angka 1 kg. Bahkan, di Pulau Enggano, Propinsi Bengkulu pernah ditemukan ikan sidat dengan berat sampai 10 kg. 

Selain memiliki pasar ekspor yang potensial, ikan sidat sendiri memiliki kandungan vitamin yang tinggi. Hati ikan sidat memiliki 15.000 IU/100 gram kandungan vitamin A. Lebih tinggi dari kandungan vitamin A mentega yang hanya mencapai 1.900 IU/100 gram. Bahkan kandungan DHA ikan sidat 1.337 mg/100 gram mengalahkan ikan salmon yang hanya tercatat 820 mg/100 gram atau tenggiri 748 mg/100 gram. Sementara kandungan EPA ikan sidat mencapai 742 mg/100 gram, jauh di atas ikan salmon yang hanya 492 mg/100 gram dan tenggiri yang hanya 409 mg/100 gram. Dengan fakta seperti itu, maka membudidayakan ikan sidat selain mempunyai potensi pasar yang menjanjikan juga bisa memberikan jaminan gizi kepada orang yang mengkonsumsinya.

Narasumber:
Dr. Slamet Subyakto
Dirjen Perikanan Budidaya (HP +62811353131)

No comments:

Post a Comment