Ikan sidat yang menyerupai belut terlihat bergerombol di salah satu kolam pembesaran di Stasiun Lapang Kelautan (SLK) Institut Pertanian Bogor (IPB) di Kp. Cipatuguran, Kel/Kec. Palabuhanratu,... |
“Penelitiannya akan dilakukan selama lima tahun. Sampai sekarang, penelitiannya baru berjalan satu tahun,” kata Pengelola SLK IPB, Syarif Budiman (36) warga Cipatuguran saat ditemui di SLK IPB di Cipatuguran, Palabuhanratu.
Menurut dia, peluang pasar ikan sidat di luar negeri, saat ini dinilai cukup tinggi, terutama di Jepang. Kebutuhan ikan sidat di pasaran luar negeri mencapai sekitar 300.000 ton per tahun. Khusus di Jepang, permintaannya mencapai 120.000 ton per tahun atau hampir setengahnya kebutuhan dunia. Oleh karena itu, Jepang merupakan pasar terbesar untuk pasar ikan sidat.
“Bahkan di Jepang, harga ikan sidat yang sudah matang cukup mahal hingga mencapai Rp 200 ribu per kg. Ikan sidat ini, dari dulu sudah menjadi konsumsi harian masyarakat Jepang karena kandungan gizinya sangat tinggi,” kata Syarif.
Dikatakan, potensialnya pasar ikan sidat itu lah yang melatarbelakangi kegiatan penelitian budidaya ikan sidat di Palabuhanratu. Tak hanya di Palabuhanratu saja, di Karawang dan Indramayu pun tengah dilakukan penelitian yang sama. Bahkan penelitiannya dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan daerah setempat. “Kalau kita, kerjasamanya dengan investornya langsung dari Jepang,” tutur Syarif.
Ia mengatakan, penelitian tersebut dilaksanakan untuk meneliti sejauhmana prospek usaha budidaya ikan sidat di Palabuhanratu, baik dari pembudidayaannya maupun dari keuntungan yang didapat. Jika prospeknya menguntungkan, investor akan menanamkan modalnya untuk mengembangkan usaha budidaya tersebut, termasuk membangun pabrik pengolahannya.
“Kalau menguntungkan, investornya akan membangun pabrik pengolahan di sini. Ikan sidat yang menyerupai belut ini akan dimasak, diolah dan dikemas di sini. Setelah itu, baru dikirim ke Jepang berbentuk produk makanan olahan,” tuturnya.
Lebih jauh Syarif menjelaskan, penelitian saat ini sedang difokuskan pada pengujian tingkat salinitas (kadar garam) dalam air, suhu serta pakan. Dikarenakan penelitiannya baru berjalan setahun, sehingga sampai sekarang belum diketahui hasil sementara penelitiannya.
“Apakah air, suhu dan pakan diberikan sudah cocok atau belum, kita juga belum tahu. Hanya saja, dalam penelitian selama setahun ini, tingkat kematian ikan sidat ini masih relatif tinggi, kira-kira mencapai 60 persen.
Tapi untuk mengetahui hasil penelitian secara menyeluruh, tahun 2014 nanti ada evaluasi langsung oleh Dinas Perikanan Jabar, IPB dan investor dari Jepang,” katanya. (A-67/das)***