Sidat belum menjadi makanan populer di Indonesia. Tapi bukan rahasia jika kabayak-masakan olahan sidat khas Jepang-dibanderol sekitar 6.000 yen atau sekitar Rp450.000 per porsi di Negeri Matahari Terbit itu. Memang, di negara itu sidat atau unagi bisa laku sekitar Rp150.000 per kilogram karena produk perikanan ini merupakan barang mahal lagi bergengsi yang hanya disantap kalangan elit.
unagi kabayaki dan unagi shirayaki |
Sidat menjadi mahal karena konsumsi rata-rata 400.000 ton per tahun hanya tersuplai 30% saja dari dalam negeri. Sisanya, Jepang terpaksa mendatangkan sidat dari Vietnam, China,
dan Taiwan serta sejumlah negara lain. Namun, negara pengimpor terutama China dan Vietnam tidak bisa memenuhi permintaan karena kendala mutu produk menyusul tingkat polusi tinggi yang menyebabkan kontaminasi residu pada sidat cukup tinggi.
dan Taiwan serta sejumlah negara lain. Namun, negara pengimpor terutama China dan Vietnam tidak bisa memenuhi permintaan karena kendala mutu produk menyusul tingkat polusi tinggi yang menyebabkan kontaminasi residu pada sidat cukup tinggi.
Demi menjaga kecukupan suplai sidat di dalam negeri, maka sejumlah pengusaha sidat asal Jepang mencari-cari produsen baru untuk menutup kekurangan pasokan dari China itu. Salah satu incarannya, Indonesia. Dirjen Perikanan Budi daya Departemen Kelautan dan Perikanan Made L. Nurdjana menuturkan beberapa pengusaha sidat dari Jepang melirik sejumlah daerah di Indonesia yang berpotensi menjadi tempat budi daya sidat.
Indonesia punya peluang besar untuk budi daya sidat, terutama pantai barat Sumatra dan pantai selatan Jawa terus sampai ke Bali. "Mereka banyak berkembang biak di Samudera Hindia itu," paparnya. Sementara di perairan Indonesia Timur, setidaknya lima spesies sidat terdeteksi berkembang biak dengan baik, yaitu jenis Anguilla Borneonsis, Anguilla Selebensis, Angullia Marmorata, Anguilla Bicolor dan Anguilla Interioris.
Selain Jepang, sejumlah negara di Uni Eropa (UE) pun diketahui melirik produksi sidat untuk memenuhi permintaan yang mulai ada dari konsumen di kawasan itu. Sayangnya, pangsa pasar itu belum berkembang menjadi peluang usaha di Indonesia. Budi daya vertebrata dari famili Anguilla sp. ini belum banyak karena hewan laut itu sendiri belum begitu dikenal orang.
Umumnya di Indonesia, belut tawar sudah populer lebih dulu. Di Jawa misalnya, yang punya panganan khas belut goreng atau di Jatim yang diolah menjadi pepes. Tetapi, belut air tawar yang biasa hidup di tanah berlumpur tidak bisa dibiakkan seperti halnya sidat yang punya daur hidup unik karena bertelur di laut dalam dan melalui proses pembesarannya di pantai.
Sebenarnya, membedakan belut dan sidat tidak terlalu sulit. Perbedaan mencolok terletak pada bentuk fisik hewan itu. Meski sama-sama gilig, coba periksa, sidat memiliki cuping dan gigi yang lebih runcing dibandingkan belut air tawar. Di sisi lain, budi daya sidat belum cukup disosialisasikan sehingga perkembangan usaha budi daya ini tidak begitu digeluti banyak orang.
Dalam jaringan pemasaran, sidat juga belum menjadi komoditas yang bersinar terang. Meski ada potensi permintaan ekspor dari sejumlah negara, pembudi daya di Indonesia belum cukup mengakrabi pangsa pasar ini.
Akibatnya, sampai saat ini belum banyak usaha budi daya sidat yang menunjukkan hasil keuntungan yang signifikan meskipun sejumlah perusahaan nasional tercatat pernah mencoba membudidayakan hewan laut ini. Apalagi, hingga saat ini belum ada jaminan pemasaran untuk produksi sidat laut di dalam negeri untuk bisa menembus pasar Jepang dan Eropa.
Made mengakui pemerintah belum cukup gencar mensosialisasikan bisnis pembesaran sidat laut. Namun, dia memastikan, perkembangan usaha ini merupakan peluang bisnis yang cukup potensial mempertimbangkan ketersediaan bibit dan potensi lingkungan yang mendukung budi daya sidat laut.
Bukan tidak mungkin, DKP akan memperhitungkan potensi produksi komoditas hewan laut ini jika sektor budi daya sidat laut dapat disosialisasikan dengan baik ke sejumlah daerah potensial. Pasalnya, kata Made, budi daya pembesaran sidat laut tidak terlalu sulit karena kebutuhan bibit yang tercukupi dari sumber daya alam dan karakter sidat sendiri yang tidak terlalu membutuhkan penanganan spesifik.
Sementara sarana budi daya untuk membesarkan sidat yang dibutuhkan cukup dengan bak, kolam atau keramba jaring apung (KJA) yang tidak membutuhkan biaya investasi yang tinggi. Paling tidak, kebutuhan operasional yang perlu dipenuhi hanyalah untuk kebutuhan pakan. Sebuah perusahaan sempat merilis perhitungan keekonomian budi daya sidat yang diperkirakan membutuhkan investasi Rp135 juta dengan potensi produksi 10 ton per tahun senilai total Rp350 juta.
Pembesarannya sendiri tidak terlalu rumit. Untuk kebutuhan pakan misalnya, bisa saja menggunakan bahan baku yang tersedia di lingkungan sekitar, seperti keong mas, bekicot, dan ikan ruicah, dengan kisaran biaya produksi tak lebih dari Rp6.000 per kg. Proses budi daya itu sendiri meliputi tiga tahap, yaitu pendederan pertama, pendederan kedua, dan pembesaran. Penebaran awal untuk pembesaran sidat laut dengan sarana kolam beton, tanah, atau di KJA berkisar 1-2 kg per m2.
Pendederan pertama bertujuan mendapatkan benih sidat hingga ukuran 1 gram-2 gram per ekor dari fase yang disebut elver atau glass ell pada saat benih sidat belum berpigmen atau transparan dengan selama 1,5 bulan-2 bulan. Selanjutnya, pendederan kedua dilakukan untuk memelihara benih hasil sidat dari hasil pendederan pertama sampai berukuran 10 gram-20 gram atau disebut fase fingerling selama 2-3 bulan. Setelah itu baru dilakukan pembesaran untuk memperoleh ukuran sidat ideal sebera 120-200 gram per ekor selama 7 bulan-9 bulan.
Untuk perkembangan yang baik, sidat membutuhkan air bertemperatur sekitar 28-29 derajat Celcius dan tingkat alkalinitas 60-80, sedangkan derajat kadar garam atau salinitas yang optimal dalam pemeliharaan elver sampai fase fingerling adalah 6 promil, dan 3 promil saja pada periode pembesaran.
Untuk penyediaan pakan, benih sidat laut membutuhkan pakan pasta sampai berukuran 60 gram per ekor. Selanjutnya, sidat diberi pakan berupa pellet sebanyak 3%-4% dari berat total biomassanya dengan frekuensi pemberian pakannya tiga kali sehari. Namun, Made menuturkan pembesaran sidat laut akan lebih optimal jika diberi pakan impor dari Jepang. Karena itu, rencana masuknya sejumlah investor asal negara itu diharapkan membantu transfer teknologi budi daya sidat yang lebih efisien dengan produktivitas tinggi.(web.bisnis.com)
By. Sidat Kita