Pembudidayaan ikan sidat di Indonesia masih kurang populer. Ichwan Baedi, Manajer Pendidikan dan Pelatihan Paguyuban Pembudidaya Ikan Sidat Indramayu "Patra Gesit" mengatakan, penambak terutama di Indramayu lebih memilih budidaya udang dan bandeng ketimbang ikan sidat.
Kondisi ini terlihat jelas dari keanggotaan paguyuban "Patra Gesit". Jumlah pembudidaya sidat yang tergabung dalam paguyuban hanya 10 penambak saja. Padahal, jumlah pembudidaya ikan di Indramayu mencapai ratusan orang.
Luas areal budidaya sidat pun baru sekitar 2,5 hektare saja. Akibatnya, volume produksi sidat di Indramayu masih minim, yaitu hanya sekitar 2 ton/bulan.
Ichwan bilang, ada beberapa faktor yang menyebabkan kurang populernya budidaya sidat. Pertama,masyarakat belum tahu jika ikan sidat itu memiliki nilai jual yang bagus. Masyarakat masih memandang sebelah mata ikan sidat terutama dari sisi harga dan potensi pasarnya.
Padahal, ikan sidat ini bisa dihargai cukup mahal. Untuk sidat jenis mormorata misalnya harganya mencapai Rp 120.000-Rp 180.000 per kilogram (kg). Sementara ikan sidat jenis bicolor pacifica harganya sekitar Rp 65.000-Rp 100.000 per kg. "Sayangnya, banyak masyarakat yang belum tahu," jelas Ichwan.
Kedua, modal yang masih minim. Ichwan bilang, pembudidaya sidat di Indramayu selama ini hanya mengandalkan pinjaman lunak dari dana corporate social responsibility (CSR) Pertamina. Sementara itu, dari perbankan umum masih kurang. Pembudidaya kesulitan memenuhi persyaratan kredit yang diajukan perbankan umum
Keadaan yang terjadi di Indramayu juga ternyata berlaku secara nasional. Produksi ikan sidat secara nasional hanya sekitar 3.400-3.500 ton saja. Supriyadi, Kepala Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang (BPLUPPBK), mengatakan, produksi sidat masih dihadapkan berbagai kendala seperti masalah benih. Indonesia sebenarnya salah satu penghasil benih sidat terbesar (spooning ground).
Namun, dalam beberapa waktu terakhir benih sidat mulai sulit diperoleh. Ini diperparah dengan kualitas benih alam yang juga menurun. "Akibatnya, produksi sidat belum banyak," jelas Supriyadi
Pasar yang potensial
Shoji Takaoka, GM Pengembangan Organisasi Restaurant Express Co.Ltd, Jepang menyatakan kebutuhan sidat di Jepang mencapai 100.000 ton. Di sisi lain, Jepang hanya mampu memproduksi sekitar 20.000 ton. Sisanya, mereka impor dari negara lain seperti China dan Taiwan.
Masalahnya, dalam satu tahun terakhir konsumsi sidat di Jepang turun menjadi sekitar 40.000 ton per tahun. Penurunan ini bukan karena orang Jepang bosan dengan sidat, melainkan lantaran mereka khawatir sidat impor dari China terkontaminasi zat kimia.
Victor Nikijuluw, Dirjen Pengolahan & Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP, menambahkan dari sisi nilai kebutuhan Jepang yang 40.000 ton itu saja bisa mencapai US$ 1,7 miliar. Ini sangat besar mengingat total ekspor perikanan Indonesia tahun lalu hanya sekitar US$ 2,9 miliar.
KKP juga kian gencar membuka jalur produksi dan pemasaran sidat. Jepang menjadi target utama ekspor sidat dari Indonesia, karena kebutuhan terbesar memang dari sana. "Pasokan dari China ke Jepang kan sedang turun, kita harus ambil alih itu," tandas Victor.
Oleh Veri Nurhansyah Tragistina