Syaiful Hanif |
Di
Indonesia, paling sedikit ada enam jenis ikan sidat (Anguilla sp),
yaitu Anguilla marmorata, Anguilla celebensis, Anguilla ancentralis,
Anguilla borneensis, Anguilla bicolor bicolor, dan Anguilla bicolor
pacifica.
Melihat
peluang pasar yang besar, Syaiful Hanif (32) dan sepuluh rekannya yang
tergabung dalam Paguyuban Patra Gesit di Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat, mulai menjajaki usaha budidaya ikan sidat pada akhir tahun 2008.
Teknik
pembesaran ikan sidat awalnya dipelajari Syaiful di Balai Layanan Umum
Pandu Karawang, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Segmentasi ikan
sidat bicolor dipilih dengan benih yang didapat dari hasil tangkapan
alam.
Bermodal
sedikit pengalaman, paguyuban yang dipimpin Syaiful itu lantas
mengajukan kredit lunak pada Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT
Pertamina Tbk Rp 1,2 miliar untuk jangka waktu 3 tahun.
Kemudian,
dana sebesar itu digunakan untuk membeli lahan seluas 2 hektar di Desa
Lamaran Tarum, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu.
Selain
itu, dana itu untuk membangun 10 petak kolam ikan berukuran
masing-masing 20 x 30 meter persegi, pembelian benih ikan sidat, serta
persiapan sarana dan prasarana produksi. Di antaranya peralatan diesel
mengingat di wilayah itu belum ada jaringan listrik yang memadai.
Setelah
lahan disiapkan, Syaiful dan rekan-rekannya mencoba mempraktikkan
pembesaran ikan sidat bicolor di lahan mereka. Namun, usaha pembesaran
ikan sidat bicolor ternyata tidak mudah. Bicolor yang biasa hidup di
arus pertemuan air sungai dan air laut sulit beradaptasi di kolam air
tawar.
Negara tujuan ekspor
Ikan sidat adalah jenis karnivora (pemakan ikan) yang memiliki sifat katadromos, yaitu awalnya berkembang biak di laut dan selanjutnya mencari perairan umum (air tawar) untuk membesarkan diri.
Ikan sidat adalah jenis karnivora (pemakan ikan) yang memiliki sifat katadromos, yaitu awalnya berkembang biak di laut dan selanjutnya mencari perairan umum (air tawar) untuk membesarkan diri.
Sifat
itu membuat ikan sidat sulit beradaptasi dan mengubah pola makan di
habitat baru kolam air tawar. Tingkat pertumbuhan ikan bicolor juga
tidak merata karena ukuran benih yang ditebar tidak seragam. Usaha
mereka pun berada di ambang kehancuran.
Namun,
Syaiful tidak menyerah. Ia lantas menekuni riset pembesaran ikan sidat
selama hampir setahun. Proses aklimatisasi diterapkan berupa penyesuaian
lingkungan, temperatur, serta sortir benih ikan sebelum disimpan di
kolam.
Dengan
perlakuan khusus, ikan sidat bicolor yang biasanya makan ikan lain itu
berubah kebiasaan menjadi rakus makan pelet. Berpijak dari hasil riset
tersebut, Syaiful dan teman-temannya melanjutkan usaha. Tidak
tanggung-tanggung, mereka langsung beralih dengan membidik segmentasi
ikan sidat marmorata yang permintaan dan harganya di pasar internasional
jauh lebih tinggi.
Ikan
sidat marmorata terbukti tumbuh subur dengan tingkat hidup (SR) 80
persen. Jika dalam kurun 6 bulan pertumbuhan benih sidat hanya dari
ukuran 0,2 gram menjadi 40 gram per ekor, dalam bulan ke-7 sampai ke-10
benih tumbuh pesat dari ukuran 40 gram ke 1 kilogram (kg) per ekor.
Pada
panen perdana bulan Januari 2010, paguyuban itu menghasilkan panen
sidat sebanyak 500 kg dan seluruhnya diekspor. Ekspor ikan hidup dengan
bobot lebih dari 500 gram per ekor, harga jualnya berkisar Rp 120.000-Rp
160.000 per kg. Harganya akan semakin mahal jika bobot ikan lebih dari 1
kg per ekor, yakni Rp 120.000-Rp 180.000 per kg.
Pasar
utama ekspor ikan sidat adalah Hongkong, China, dan Taiwan. ”Minat
pasar ekspor yang tinggi terhadap ikan sidat membuat hasil produksi
selalu terserap pasar, berapa pun jumlahnya,” ungkap Syaiful.
Ia
mengakui tidak sulit mencari benih ikan. Beberapa kawasan perairan yang
banyak terdapat benih ikan sidat di antaranya di pesisir Sumatera
bagian barat, Sulawesi, dan pantai selatan Jawa yang berbatasan dengan
laut dalam. Harga benih sidat marmorata Rp 120.000 per kg dengan ukuran
benih 25 gram per ekor.
Sayangnya,
seiring maraknya permintaan di pasar internasional, penyelundupan benih
ikan sidat ke negara lain terus terjadi, di antaranya ke Jepang.
Penyelundupan di beberapa tempat itu mendongkrak harga benih marmorata hingga mencapai Rp 2,5 juta per kg.
Syaiful
mengaku khawatir, dengan teknologi budidaya sidat di Tanah Air yang
belum berkembang luas, bukan tidak mungkin masyarakat Jepang kelak akan
mencuri start dalam pembudidayaan ikan sidat secara luas.
”Indonesia
adalah negeri produsen benih ikan yang besar dan kaya. Tetapi, jika
potensi itu tidak dimanfaatkan optimal, bisa dipastikan rakyat Indonesia
sulit memperoleh nilai tambah dari perikanan,” ujar pria yang
sebelumnya menekuni bisnis penjualan pulsa itu.
Salah
satu ambisinya dalam waktu dekat adalah memperluas pemasaran ikan sidat
ke pasar-pasar dalam negeri. ”Kalau pasar ekspor dengan mudah bisa
ditembus, kenapa pasar dalam negeri justru tidak melihat potensi ini,”
papar Syaiful.
Ia
menargetkan produksi ikan sidat pada panen kedua bulan Juli 2010 bisa
mencapai 1 ton. Ia pun berencana memberdayakan masyarakat sekitar dengan
menularkan teknik pembesaran ikan sidat ke warga Indramayu.
Caranya,
melepas benih ikan sidat berukuran 100 gram kepada warga untuk
dibesarkan sampai ukuran 500 gram, kemudian ditampung kembali untuk
dipasarkan.
Pria
lulusan politeknik Jurusan Mesin ITB angkatan 1996 ini berharap
pemerintah memiliki regulasi yang tegas untuk mengembangkan benih ikan
sidat, memperluas teknologi budidaya lewat pemberdayaan masyarakat,
serta menekan penyelundupan benih yang merugikan perikanan budidaya.
Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI