Pages
▼
Monday, October 22, 2012
Fenomena Plastisity pada Migrasi Ikan Sidat
Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama proses migrasi. Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh perubahan morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. Pada ikan sidat perubahan morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver eel, meliputi pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu. Sedangkan perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan atau perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang memiliki karakter fisika dan kimia berbeda.
Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang dialami oleh ikan sidat selama proses migrasi, baik perubahan morfologi maupun perubahan fisika.
Adaptasi Morfologi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur organisme, tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan hidup) sehingga bisa berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai macam strategi beradaptasi terhadap morfologinya. Di antara adaptasi morfologi yang ada pada ikan sidat adalah bentuk badan, warna kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan lain-lain. Adaptasi bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini sangat penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif ( pasif transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai upaya adaptasi terhadap serangan predator. Pada saat memasuki perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat memasuki muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang dalam lumpur. Di samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu ikan sidat bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan predator.
Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pada tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan, sehingga memudahkan larva mengindar dari serangan preda- tor. Seiring dengan pertambahan ukuran badan pigmen ikan sidat mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan ikan akan semakin terang untuk mengikat pasangan.
Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap getaran terutama di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini sangat membantu ikan sidat dalam bergerak karena kemampuan penglihatannya kurang baik. Di samping itu, ikan sidat juga memiliki organ penciuman yang sangat baik untuk membantu mengatasi kelemahan penglihatannya.
Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-lamela yang ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk mengambil oksigen langsung dari udara, selain oksigen yang terlarut dalam air. Untuk mempertahankan kelembaban dalam rongga branchial, sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa organ yang sangat kecil terletak di bagian belakang kepala dan sangat sulit dilihat (Tesch, 2003).
Mata ikan sidat akan beradaptasi saat memasukan perairan laut dalam. Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat kali lipat ukuran normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan kemampuan melihat karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap. Pankhrust (1982) menyatakan pada saat memasuki perairan laut dalam komposisi sel retina akan mengalami perubahan, menyesuaikan intensitas cahaya.
Adaptasi Fisiologi
Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan bermigrasi dari perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar 3.000 km terjadi perubahan pada badan yaitu diameter mata membesar. Pankhrust (1982) menyatakan bahwa membesarnya mata saat memijah mencapai empat kali dari sebelumnya. Selain mata, perubahan badan lainnya ketika akan memijah antara lain warna sirip pektoral yang makin gelap, perubahan komposisi sel pada retina, perubahan warna badan menjadi silver, sisik membesar, dermis menebal, densitas sel mukus meningkat terutama pada betina, bentuk kepala agak pipih, adanya peningkatan panjang dan diameter kapiler pada gelembung renang, peningkatan aktivitas Na+/K+-ATP ase pada insang, usus mengalami peningkatan bobot namun jumlah lipatannya menurun, serat otot tonus meningkat, penumpukan glikogen dalam hati dan lain- lain. Mekanisme perubahan badan tersebut banyak melibatkan hormon-hormon dalam badan, karena perubahan lingkungan akan mempengaruhi hipotalamus, yang seterusnya mempengaruhi hipofisa dan organ-organ target di bawahnya.
Menurut Tesch (1977), perkembangan gonad sidat terbagi menjadi delapan tingkatan mulai dari gonad berbentuk benang tipis hingga berupa pita berwarna putih. Scott (1979) mengemukakan faktor lingkungan yang dominan yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu, pakan, periode cahaya, dan musim.
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap determinasi kelamin. Pada keadaan temperatur sedang (20°C–23°C) akan menghasilkan lebih banyak jantan sedangkan pada temperatur rendah dan tinggi akan didominasi oleh betina. Perkembangan gonad sangat terkait dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak makan sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Kondisi malnutrisi ini dapat mempengaruhi fungsi hipofisis gonadotropin yang berakibat pada penghambatan pertumbuhan gonad. Pada kondisi ini ikan akan memanfaatkan energi yang ada dalam badan untuk maintenance dan perkembangan gonad. Simpanan energi dalam badan ikan berasal dari konsumsi pakan dengan kadar lemak tinggi.
Periode pencahayaan dan musim sangat berpengaruh pada kematangan gonad ikan sidat sub tropis. Untuk spesies tropik musim hujan dan banjir sangat mempengaruhi kematangan gonad hal ini disebabkan oleh perubahan konsentrasi garam-garam dalam air, dan pasokan pakan akibat banjir akan memacu perkembangan gonad. Querat et al. (1987) menduga bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang dapat menginduksi kematangan gonad pada sidat, dengan cara menstimulasi ekskresi estradiol 17. Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap perkembangan gonad ikan sidat telah diteliti oleh Herianti (2005) dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa cahaya dan salinitas mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih tinggi berkaitan
Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat menghadapi kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Pada kondisi “ apnoea”, yaitu keadaan di mana otot-otot pernafasan dan alat pernafasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekurangan oksigen). Ikan sidat mampu bernafas melalui permukaan kulit dan pada kondisi tertentu insang ikan sidat juga mampu mengambil oksigen langsung dari udara (Tesch, 2003).
Sidat berukuran 100 g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi ( hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100 g diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100–300 g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Ikan sidat mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu hal ini disebabkan karena secara alami ikan yang melakukan aktivitas migrasi memiliki toleransi yang luas terhadap suhu dan salinitas. Daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran badan ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla australis mampu hidup pada suhu 28°C, elver 30,5°C–38,1°C dan sidat dewasa 39,7°C. Ikan sidat tropis ( A. bicolor, A. marmorata ) kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. austra- lis .
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar.
Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respons ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang bermetamorfosa ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme.
sumber: http://mazara30.wordpress.com