Pages

Wednesday, November 14, 2012

Tak Ada Guru, Penjaga Sekolah Pun Jadi...


Jarum jam merujuk pukul 08.10, tetapi belum ada seorang guru pun tampak di kelas jauh SDN Gobang 4, di Kukuk Sumpung, Desa Gobang, Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Puluhan siswa yang menunggu pun mulai gelisah dan minta pulang.

”Ayo, semua masuk kelas,” kata Supiyadi, penjaga sekolah.

Pagi itu, siswa kelas I dan II masuk ke ruang kelas di sisi kanan, sedangkan siswa kelas III masuk ke ruang lain. Hanya ada dua ruang kelas di sekolah itu sehingga 120 siswa kelas I hingga VI dibagi masuk pagi dan siang. Kelas ini merupakan bagian dari SDN Gobang 4 yang letaknya terpisah sehingga disebut kelas jauh.


Supiyadi (17), penjaga sekolah, mengajar siswa kelas I dan II kelas jauh SDN Gobang 4, di Kampung Kukuk Sumpung, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kondisi infrastruktur menuju Kukuk Sumpung yang buruk dan berbahaya selama musim hujan membuat dua guru kelas jauh ini kerap tidak datang mengajar sehingga Supiyadi yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas II SMP menggantikan mereka mengajar.


Setelah siswa berada di kelas, Supiyadi menuju ke lemari buku reyot. Ia mengambil buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam kelas II dan Matematika kelas I.

Supiyadi, yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas II SMP, kemudian menyalin salah satu bab di buku IPA, mengenai tempat hidup tumbuhan, di sisi kiri papan tulis. Sesudah itu, ia mengambil buku Matematika dan menulis di sisi kanan papan tulis latihan lambang bilangan.

Sebagian siswa kelas I dan II sibuk menyalin. Namun, suasana kelas jauh dari terkendali. Beberapa murid berjalan-jalan di kelas.

Di ruang sebelah, siswa kelas III sibuk dengan ”dunia”-nya sendiri tanpa pengajar. ”Sejak Senin enggak ada guru datang. Mungkin karena musim hujan. Licin jalan ke sini,” kata Supiyadi.

Di kelas jauh itu hanya ada dua guru yang diperbantukan. Ruang kelas yang ada pun seadanya, dengan kaca-kaca jendela pecah dan salah satu pintu kelas lepas. Meja dan kursi sudah reyot dan rusak.

Menurut Supiyadi, dua pekan lalu, selama empat hari berturut-turut dua guru yang ada tidak hadir. Kadang ada satu guru hadir, satu lainnya tak datang. Saat guru tak hadir, Supiyadi yang menerima honor Rp 300.000 per bulan itu pun menggantikan mereka mengajar.

Kemarin, baru sekitar pukul 08.30, Yunengsih (22), guru kelas jauh, datang. Ia kemudian menangani siswa kelas III. Lalu, sesekali ia masuk ke kelas I dan II. Yunengsih terlambat datang lantaran menunggu kondisi jalan menuju Kukuk Sumpung membaik setelah diterpa hujan deras.

”Saya bawa sepeda motor sendiri jadi harus hati-hati. Kalau naik ojek, honor Rp 500.000 sebulan enggak cukup,” kata Yunengsih. Honor itu pun tak selalu dibayarkan tepat waktu.

Akses menuju Kampung Kukuk Sumpung dari jalan utama Desa Gobang sepanjang 5 kilometer berupa jalan setapak dari batu dan semen dengan lebar tak sampai 1 meter. Sebagian berlubang, sebagian masih tanah. Kondisi ini diperparah kontur tanah berkelok dan menanjak dengan satu sisi berada di tepi tebing berketinggian lebih dari 10 meter.

”Enggak kehitung berapa kali saya jatuh naik sepeda motor ke sekolah. Saya hanya berharap bisa diangkat menjadi PNS. Harus sabar,” tutur Yunengsih.

Ironi Pendidikan
Kondisi kelas jauh SDN Gobang 4 di Kukuk Sumpung menjadi ironi di tengah upaya pemerintah meningkatkan sumber daya manusia lewat wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Sekolah ini hanya berjarak 60 kilometer dari pusat pemerintahan di Jakarta.

Padahal, dengan segala kekurangan, kelas jauh itu jadi tumpuan harapan anak-anak Kampung Kukuk. Sebelum kelas jauh dibuka tahun 2010, mayoritas anak-anak tak sekolah.

Kondisi ini tak hanya dialami siswa kelas jauh di Kukuk Sumpung. Kelas jauh SDN Kadusewu di Kampung Cijantur, Desa Rabak, 3 kilometer di atas Kampung Kukuk Sumpung, juga kekurangan prasarana dan guru.

Menurut Yati Fatimah (52), Kepala SDN Kadusewu, akses jalan yang buruk menyebabkan guru SDN Kadusewu enggan mengajar di kelas jauh Cijantur. Dia sudah menawarkan tambahan honor Rp 100.000 sehingga menjadi Rp 700.000 per bulan bagi guru yang bersedia, tetapi hasilnya nihil.

Ia akhirnya merekrut guru baru, Soleh (33), lulusan Paket B (setara SMP); Sandy (25) dan Opik (25), lulusan SMA; serta penjaga sekolah merangkap guru cadangan, Abet (18), lulusan Paket B.

Padahal, minat siswa untuk belajar tinggi. Kendati kelas jauh SDN Kadusewu hanya membuka kelas I hingga III, jumlah siswa mencapai 231 orang.

Tanpa Insentif
Menurut data Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, setidaknya 15 sekolah melayani kelas jauh di Kabupaten Bogor, dengan jumlah siswa lebih dari 3.300 orang. Jumlah ini menembus angka 10.000 siswa jika ditambah siswa yang mengikuti program sekolah satu atap dan SMP terbuka. Dua program ini memang didesain untuk membantu siswa yang sulit mengakses sekolah reguler karena kondisi geografis atau buruknya infrastruktur.

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Aman M Noor mengakui pengelolaan kelas jauh masih menghadapi banyak kendala. Insentif bagi guru di kelas jauh juga terkendala aturan biaya operasional sekolah (BOS) yang tidak boleh melebihi 20 persen total dana. Di sekolah induk saja, untuk membayar upah guru honorer sudah melebihi 20 persen.

”Di APBD Kabupaten Bogor belum ada alokasi untuk insentif. Kami akan mengevaluasi program kelas jauh ini. Kami akan mencari solusinya,” tutur Aman.

Tampaknya siswa di Kukuk Sumpung dan Cijantur masih harus menunggu kesungguhan pemerintah memfasilitasi kelas jauh agar kualitasnya tak kalah jauh dari kelas reguler.