Pages

Friday, November 16, 2012

Apa Kabar Sidat Indonesia

Ketika sistem budidaya sudah mapan dan kultur konsumsi sudah sedemikian terbentuk harus berhadapan dengan keterbatasan suplai stok, maka orang kemudian berpaling mencari sumber sejenis dari tempat lain.  Itulah realitas yang terjadi pada ikan sidat.  Ketika stok glass eel dari sidat Eropa dan sidat Jepang sudah sangat terbatas padahal permintaan konsumsinya sangat tinggi, para pelaku budidaya sidat mereka kemudian beralih ke Indonesia dimana stok glass eel begitu berlimpah!  Setelah ekspor glass eel dilarang (PERMEN KP 18/2009), mereka kemudian berusaha melakukan budidaya di Indonesia.  Apakah nikmatnya sidat bisa dirasakan oleh orang Indonesia, terutama para pembudidaya dengan modal pas-pasan?

“The eels come from what we call the entrails of the earth.  These are found in places where there is much rotting matter, such as in the sea, where seaweeds accumulate, and in the rivers, at the water’s edge, for there, as the sun’s heat develops, it induces putrefaction” (Aristotle, around 350 BC, Historia Animalium dalam Ginneken & Maes, 2005).

Kepulauan Nusantara yang terletak diantara dua samudera, yang diduga merupakan wilayah pemijahan sidat, memberi keuntungan sebagai tempat beruaya sidat. Glass eel, yang merupakan tahap awal perkembangan sidat, dapat ditemukan di sepanjang pantai: selatan jawa, barat sumatera, sulawesi dan papua.  Sejauh ini, telah teridentifikasi 18 spesies sidat air tawar yang bersifat katadromus dan tujuh diantaranya terdapat di bagian barat Pasifik terutama di wilayah sekitar Indonesia, termasuk Anguilla celebesensis yang hanya terdapat di Pulau Sulawesi (Tsukamoto dan Aoyama, 2007).  Pada beberapa daerah penangkapan, telah ditemukan adanya keseragaman jenis yang tinggi, misalnya >95% glass eel di pantai barat Sumatera merupakan jenis A. bicolor bicolor (Aoyama, et al., 2007).  Keseragaman jenis dan didukung kedekatan morfologi dengan sidat Jepang dapat menjadi faktor pendukung terbukanya peluang usaha budidaya sidat.  Di Indonesia, usaha budidaya ini juga didukung oleh adanya sumber daya lahan dan air yang dapat tersedia secara luas.

Meskipun demam budidaya sidat sudah panas, namun secara faktual, upaya pengembangan budidaya sidat di Indonesia relatif masih lemah dan sangat kontradiktif dengan usaha sejenis yang dilakukan di luar negeri.  Beragam kendala budidaya, diantaranya: belum tersedianya teknik budidaya yang aplikatif (termasuk didalamnya sistem pemeliharaan yang belum optimal dan pengelolaan lingkungan dan pakan yang belum efisien), peran serta swasta/pengusaha yang masih rendah,  belum adanya kerja sama yang berjalan dengan baik antara lembaga pemerintah (penelitian dan pengembangan) dengan stake holder dan kemampuan praktisi yang masih rendah.  Demam yang muncul justru kemudian, nampaknya, dimanfaatkan segelintir orang untuk mengadakan training dan menjual benih sidat tangkapan, sedangkan budidayanya lebih lanjut dibiarkan.  Di sisi lain, berbagai penelitian sidat sudah berjalan mengkaji identifikasi jenis, distribusi dan aspek fisiologis, pakan hingga sistem budidaya sidat.  Namun, nampaknya hasil penelitian tersebut belum  dapat diaplikasikan pada skala usaha di masyarakat.

Melihat sistem budidaya sidat di luar negeri, produksinya sudah berkembang dengan mapan pada jenis sidat Eropa (A. anguilla) yang banyak berkembang di Belanda, Jerman, Denmark dan Italia (FAO, 2007a), sidat Jepang (A. japonica) yang banyak berkembang di Jepang, Cina, Taiwan, Korea dan Malaysia (FAO, 2007b) dan sidat Australia (A. australis dan A. reinhardtii) yang banyak berkembang di negara bagian Victoria, Tasmania, New South Wales dan Queensland, Australia (McKinnon, 2006).   Pada tahun 2005, tidak kurang dari 8.000 ton sidat Eropa (FAO, 2007a) dan 230.000 ton sidat Jepang (FAO, 2007b) telah dihasilkan dari budidaya.  Tingginya produksi sidat tersebut, juga telah mendorong terjadinya pembatasan suplai glass eel bagi budidaya akibat adanya penurunan sidat di alam.  Penurunan populasi hingga 99% telah dilaporkan pada sidat Eropa dan sidat Jepang masing-masing dibandingkan dengan kondisi tahun 1980-an dan 1970-an, seperti juga yang terjadi pada sidat Amerika (Dekker, 2003) yang mengakibatkan sidat Eropa sudah masuk Appendex II CITES sejak Tahun 2007 (http://www.cites.org/eng/app/appendices.php).  Selain akibat over-fishing, populasi sidat juga dapat menurun akibat adanya kerusakan habitat, penghalang selama migrasi, polusi, penyakit dan faktor perubahan iklim dan laut (McKinnon, 2006).  Kerusakan lingkungan dan penghalang migrasi tersebut juga dapat mengancam populasi sidat alami Indonesia, selain adanya illegal recruitment yang mungkin dilakukan oleh pengusaha.



Dengan berbagai kondisi tersebut, pengembangan sidat di Indonesia perlu segera dilakukan, terutama untuk memanfaatkan sumber daya alam Indonesia bagi keperluan masyarakat.  Beberapa strategi yang dapat dilakukan, diantaranya:

Harus ada kerja sama yang nyata dan berjalan dengan baik antara lembaga pemerintah dengan swasta dalam upaya penelitian dan pengembangan teknik budidaya sidat hingga kemudian teknik tersebut dapat diaplikasikan secara sederhana, murah dan berkesinambungan pada skala rumah tangga (tidak hanya dinikmati oleh para pemodal besar seperti pada kasus tambak udang),

Identifikasi distribusi glass eel dan penentuan lokasi pengembangan usaha tingkat masyarakat yang berdekatan dengan sumber daya tersebut yang akan bermanfaat baik bagi upaya konservasi di satu wilayah dan eksploitasi di wilayah lainnya,

Perlu segmentasi usaha yang jelas antara pembenihan (proses produksi glass eel sampai fingerling) dan pembesaran (proses produksi fingerling sampai konsumsi),
Memastikan keterlibatan para pelaku budidaya Indonesia pada penanaman modal budidaya sidat dari luar negeri sehingga diharapkan ada transformasi dan adopsi teknik budidaya yang dapat diterapkan di masyarakat (seperti kasus budidaya kerang mutiara yang kemudian tidak hanya eksklusif orang luar negeri)

Peningkatan riset yang komprehensif untuk melakukan breeding sidat sehingga, ke depan, glass eel bukan ditangkap dari alam melainkan dari budidaya agar budidaya bisa kontinyu dan, dalam jangka panjang, menghindari masuknya sidat Indonesia pada list CITES.

Link 

No comments: